masukkan script iklan disini
Kelima mahasiswa itu adalah Muhammad Harun Rasyid Al Habsyi, Zulfikar Dabby Anwar, Suntari Nur Cahyani, Anggi Zahwa Romadhoni, dan Andini Laily Putri. Mereka dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Mereka tergabung dalam tim Artha Kawi dan dibimbing oleh dosen Destyana Ellingga Pratiwi, SP, MP, MBA.
Mereka melakukan penelitian dengan tujuan untuk mencari tahu hubungan praktik mistisme di Gunung Kawi dengan gangguan mental, yakni skizofrenia psikosis.
Harun menyebut penelitian tersebut berawal dari ketertarikan pada desas-desus adanya praktik pesugihan di kawasan Gunung Kawi. Informasi awal yang diperoleh, praktik pesugihan membutuhkan syarat khusus, yakni permintaan tumbal.
"Berdasarkan artikel-artikel yang ada di internet, beberapa menyebutkan bahwa dalam praktik pesugihan tersebut terdapat syarat khusus yang dikenal dengan adanya tumbal," ujar Harun saat berbincang dengan detikJatim, Sabtu (7/10/2023).
"Dari situ kami merasa penasaran terhadap kebenarannya, terutama terhadap kondisi pelaku pesugihan apabila harus mengorbankan orang di sekitarnya," dia menambahkan.
Harun juga mengatakan penelitian dilakukan untuk mengungkap dugaan apakah pelaku ritual memiliki kekhawatiran akan syarat tumbal yang diberikan. Sehingga, mengalami kecenderungan mental disorder, suatu jenis gangguan mental atau jiwa.
"Kami menduga bahwa pelaku pesugihan akan merasa hidupnya tidak tenang, sehingga mengalami kecenderungan mental disorder," ujar dia.
Penelitian dilakukan dengan mewawancarai sejumlah informan yang pernah melakukan ritual di Gunung Kawi. Hasil penelitian mengungkap bahwa banyak dari mereka yang memiliki pengalaman tidak biasa. Antara lain, mendengar suara atau melihat sosok yang tidak dapat dilihat oleh orang lain.
Peneliti masih terus menganalisis data yang diperoleh. Temuan awal menunjukkan keterkaitan yang signifikan antara ritual pesugihan Gunung Kawi dan kondisi psikologis pelakunya.
"Dari beberapa informan yang diwawancarai belum dapat divalidasi untuk adanya tumbal manusia," kata dia.
Menurut Harun, tim telah menggali keterangan dan pengalaman pelaku ritual pesugihan Gunung Kawi, serta orang terdekatnya. Dari situ, mereka mendapatkan kesimpulan bahwa konsep harta dibalas nyawa dalam praktik pesugihan Gunung Kawi, dimaknai sebagai pengorbanan yang harus dilakukan oleh pelaku pesugihan atas tujuan dari individu tersebut.
Ia menambahkan pengorbanan yang harus dilakukan seorang pelaku ritual tidak sama dengan pelaku ritual lainnya. Semua tergantung dengan tujuan serta motif ritual yang dijalani. Umumnya, pelaku ritual menginginkan kekayaan, pangkat, atau penglaris.
Dalam observasi dan wawancara, informan yang ditemui tim Artha Kawi mengungkapkan bahwa setiap individu akan ditanya terkait keinginan atau tujuan ritual. Misalkan meminta kekayaan maka mereka harus memenuhi syarat yang disampaikan oleh pembimbingnya.
Apabila dalam waktu satu tahun harapan mereka terkabul maka pelaku ritual harus menggelar selamatan sebagai bentuk pengorbanan. Biasanya ritual yang dilakukan pada malam Jumat Legi atau malam 1 Suro.
"Jadi yang minta kekayaan itu diminta itu ya. Kekayaan itu ditanya, kamu mau apa, tapi ya diminta imbalannya. Nanti kalau misalnya kamu satu tahun bisa kaya, itu diminta tiap tahun. Kalau nggak masuk ya kita yang meninggal. Dari keluarganya, kalau nggak keponakan," kata Harun mengutip hasil wawancara tim dengan R, pelaku ritual berusia 78 tahun asal Lumajang.
Harun mengatakan tumbal atau pengorbanan bagi pelaku ritual pesugihan Gunung Kawi wajib dilakukan sekali dalam satu tahun.
"Kebanyakan para pelaku ritual yang berasal dari luar Gunung Kawi. Mereka datang ke Keraton Gunung Kawi pada malam Jumat Legi atau malam 1 Suro dan Hari Raya Idul Fitri," kata dia.
Sumber: detik.com