Jakarta, opsjurnal.online
Konflik antara Israel dan Palestina kian memanas. Para dokter dan tenaga medis di Gaza bekerja keras menangani korban, tak jarang mereka menyaksikan anggota keluarganya sebagai salah satu korban tewas.
Deretan tenda bermunculan di bagian selatan jalur Gaza, ini menjadi tempat berlindung dari ganasnya bom Israel yang terus menggempur wilayah tersebut. Kondisi mengerikan tersebut terjadi di Gaza selama berminggu-minggu sebagai balasan atas penyerangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.
Korban jiwa kian bertambah. Kini, jumlah korban tewas di Gaza mencapai 7 ribu orang dengan mayoritas korban anak-anak. Israel terus melancarkan serangan darat yang lebih besar ke jalur Gaza.
Namun, apakah hanya perang satu-satunya jalan dari konflik Israel dan Palestina? Adakah jalan lain?
Mengutip Al Jazeera pada Sabtu (28/10/2023), perang berkepanjangan masih mungkin terjadi dengan invasi darat. Penyelesaian konflik melalui diplomasi masih dapat dilakukan, namun banyak faktor yang jadi permasalahan. Skenario terburuknya ialah pendudukan kembali Jalur Gaza atau justru pengusiran seluruh warga Palestina dari wilayah tersebut.
Analisis Perang Berkepanjangan Israel-Palestina Menurut para Analis
Perang yang berkepanjangan menurut sejumlah analisis adalah hal yang diinginkan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Keinginannya untuk melancarkan konflik berkepanjangan ialah untuk mengalihkan perhatian atas kasus korupsi yang ia hadapi selama bertahun-tahun serta protes mingguan terhadap perombakan sistem peradilan Israel yang dilakukan pemerintahnya, seperti dijelaskan oleh Haim Bresheeth, seorang profesor di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London.
"Dia ingin itu berlangsung lama (agar dia tidak) masuk penjara. Dan setelah perang, siapa yang punya tenaga untuk memenjarakannya?" jelas Bresheeth.
Ia juga mengatakan bahwa Netanyahu juga ingin menang sebagai pahlawan yang menghancurkan Hamas. Menurutnya, Netanyahu tidak peduli dengan korban jiwa pada penyerangan 7 Oktober 2023.
"Dia tidak peduli dengan orang-orang yang dibunuh oleh para penyerang pada tanggal 7 Oktober. Dan dia tidak peduli dengan tawanan perang," tambah Breseeth.
Skala Konflik Israel-Palestina Sudah Berbeda dari Tahun-tahun Sebelumnya
Perang berkepanjangan yang melibatkan invasi darat total ke Gaza, kata Zoran Kusovac selaku analis dan konsultan strategis, akan serupa dengan perang perkotaan, yang merupakan jenis perang paling berdarah.
"Perang di Gaza akan sangat buruk dalam hal korban sipil," katanya.
Apabila invasi darat semacam itu terus terjadi dan dimulai pada malam, pasukan Israel memiliki keuntungan dengan adanya pelatihan di malam hari. Meski begitu, Gaza juga memiliki pertahanan yang baik dengan jaringan terowongannya, yang diketahui oleh Hamas baik luar maupun dalam, dan dapat ditanami ranjau jika Israel mencoba menembusnya, lanjut Kusovac.
Di sisi lain, Israel dilengkapi dengan teknologi canggih seperti robot yang dapat memasuki terowongan tersebut. Bukan hanya pos terdepan Hamas, melainkan juga cara sejumlah makanan dan pasokan penting lainnya memasuki wilayah yang diblokade.
Loreley Hahn Herrera selaku dosen di Pusat Studi Palestina SOAS menyebut skala konflik ini sudah berbeda, jika dibandingkan dengan serangan Israel di masa lalu di Gaza dan jumlah penggunaan militer yang tidak proporsional terhadap warga Palestina. Tanggapan terhadap serangan Hamas merupakan tindakan balas dendam nyata dari Israel, kata Herrera.
Kemudian sejarawan Palestina dan alumnus doktoral dari Universitas Princeton, Zachary Foster mengatakan skala kekerasan terhadap warga Palestina apabila dibandingkan dengan serangan sebelumnya terhadap Gaza pada tahun 2008 dan 2014 sangatlah mengejutkan.
Pada tahun 2008, 1.385 warga Palestina terbunuh dalam 22 hari, sedangkan pada tahun 2014, pemboman 50 hari Israel menewaskan 2.251 warga Palestina, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan.
Dalam jangka waktu lima hari setelah tanggal 7 Oktober, Israel menjatuhkan lebih dari 6.000 bom di wilayah padat penduduk tersebut. Ini lebih banyak dibandingkan yang dilakukan dalam 50 hari pada tahun 2014.
Jumlah korban tewas di Gaza akibat konflik yang terjadi pada hari ke-20 ini jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Sebelumnya, Israel menargetkan bangunan-bangunan tertentu yang membiarkan bangunan di sekitarnya tetap utuh, sedangkan sekarang Israel telah meratakan seluruh jalan dan lingkungan sekitar menurut penuturan Foster.
"(Tiidak ada) upaya apa pun untuk membedakan antara personel militer dan sipil," ungkapnya.
Pengepungan Total Terhadap Gaza Melalui Pemutusan Pasokan Jadi Hal Baru
Pengepungan total terhadap Gaza melalui pemutusan pasokan makanan, air dan listrik yang berlangsung selama konflik ini pada dasarnya juga merupakan hal baru. Foster mencatat politisi dan pakar Israel yang telah menyatakan niat melakukan genoside sejak peristiwa 7 Oktober - yang juga belum pernah terjadi sebelumnya, setidaknya 24 orang pada tanggal 20 Oktober.
Walau begitu, Foster mengatakan setiap hari Israel memilih untuk tidak melakukan invasi darat, kecil kemungkinannya untuk melakukan invasi. Perang yang berkepanjangan akan menyebabkan hilangnya banyak personil militer Israel dan memperluas cakupan perang dengan Hizbullah di Lebanon Selatan dengan cara yang jauh lebih serius, yang ingin dihindari oleh Israel.
Apakah Solusi Diplomatis Dapat Dijadikan Jalan Keluar?
Lalu, Hamas akan siap untuk terlibat dalam perang gerilya, melalui penggunaan terowongan "jebakan", yang menjadi skenario terburuk dari Israel. Karenanya, solusi diplomatis adalah satu-satunya cara agar konflik ini bisa berakhir.
Agar kedua belah pihak dapat mencapai meja perundingan, mereka masing-masing harus melakukan kompromi. Israel kemungkinan akan menuntut pembebasan tawanan yang disandera Hamas pada 7 Oktober dan penghentian serangan roket, sementara Hamas akan mendesak pelonggaran blokade di Gaza dan penghentian pemboman di wilayah sipil.
Sayangnya, jalan menuju diplomasi agaknya masih terlalu panjang. Normalisasi negara-negara Arab dengan Israel dalam beberapa tahun terakhir telah mencegah kecaman yang lebih kuat atas tindakan Israel di Gaza, sehingga menghambat kemungkinan solusi diplomatik dan berisiko memperburuk krisis di seluruh kawasan, sebagaimana dijelaskan oleh para analis.
Di sisi lain, Herrera menuturkan para pemimpin Arab harus bertanggung jawab karena mengabaikan perjuangan Palestina. Keberhasilan di kancah internasional juga terbatas, karena Dewan Keamanan PBB tidak dapat mengeluarkan resolusi gencatan senjata karena adanya veto.
Pendekatan militeristik Presiden AS Joe Biden terhadap kebijakan luar negeri patut disalahkan, dan Eropa juga tertinggal dalam agenda Amerika, menurut Herrera.
"Biden adalah politisi konfliktual yang menentang pembahasan (solusi) apa pun selain serangan militer," katanya.
Ia menambahkan, Amerika Serikat kemungkinan besar melihat perang Israel-Palestina sebagai sebuah peluang untuk menjual lebih banyak senjata.
"Kekuatan yang menginginkan solusi damai adalah negara-negara yang tidak memiliki cukup pengaruh di PBB," tambah Bresheeth.
Sementara itu, para pemimpin Barat telah melakukan kunjungan ke Israel dan dengan tegas mendukung hak untuk membela diri negara tersebut.
"Saya pikir kepentingan Israel untuk menduduki kembali wilayah Jalur Gaza, pada dasarnya merupakan tujuan Israel sejak tahun 1940-an, (sejak) berdirinya Negara Israel, yang ingin memiliki tanah seluas-luasnya dengan jumlah tanah paling sedikit, Palestina," ujar Herrera, dengan alasan bahwa ini adalah bagian dari misi Israel untuk menyelesaikan pembersihan etnis di Palestina.
Selain itu, perintah evakuasi Israel terhadap warga Palestina untuk bergerak ke selatan jalur dekat perbatasan dengan Mesir, sementara Israel terus mengebom sektor selatan dan persimpangan itu sendiri.
Alasan Masyarakat Gaza Enggan Meninggalkan Wilayah
"Benar-benar menunjukkan keinginan mereka untuk mengusir warga Palestina sekali lagi, dan mengambil sebagian besar wilayah Palestina serta tanah mereka," kata Herrera.
Namun, warga Palestina menolak gagasan untuk mengevakuasi Jalur Gaza, dan keluarga-keluarga yang berangkat ke wilayah selatan juga kembali ke rumah mereka di bagian utara Gaza, dan lebih memilih untuk mati di rumah mereka karena pemboman Israel terus berlanjut.
Hal ini terbukti dari salah satu teman Anis Mohsen, seorang editorial jurnal berbahasa Arab Institute for Palestine Studies. Ia termasuk orang yang kembali dari Jalur Selatan.
Tekad temannya untuk pindah ke selatan berubah setelah serangan menghantam tempat-tempat pengungsian di sana, seperti rumah sakit dan gereja, katanya.
"Tidak mungkin memiliki tanah tanpa masyarakat, jadi masyarakat harus tetap tinggal di tanah mereka," pemikiran ini menjadi sentimen di kalangan warga Palestina, kata Mohsen.
Sementara itu, Mesir telah membantah gagasan mengizinkan warga Palestina untuk pindah ke wilayah Sinai, dengan menyatakan bahwa hal itu akan menyebabkan pengusiran mereka dari Gaza.
Menurut Kusovac, membersihkan Gaza sepenuhnya masih merupakan gagasan ekstrem sayap kanan di kalangan masyarakat Israel - namun gagasan tersebut mulai mendapat dukungan dalam beberapa minggu terakhir.
Dan hal ini konsisten dengan pemikiran Netanyahu: jika hal ini dilakukan, maka tidak akan ada lagi Hamas, tidak akan ada lagi roket, sementara perdana menteri Israel akan muncul sebagai penyelamat negara tersebut, yang mampu menawarkan Gaza yang telah dirobohkan sebagai wilayah untuk lebih banyak pemukiman Israel, katanya menjelaskan.
Bagaimana pun konflik Israel-Palestina terus berlanjut. Kondisi warga Palestina di Gaza akan jadi lebih buruk dibandingkan sebelumnya, menurut Foster.
Blokade kemungkinan besar tidak akan dilonggarkan, sebagian besar masyarakat akan tetap bergantung pada bantuan makanan, akan terjadi kekurangan listrik, dan masyarakat akan terus menderita berbagai krisis kesehatan masyarakat.
"Saya pikir sejarah mengajarkan kita bahwa dunia pada dasarnya telah melupakan orang-orang di Gaza dan (menganggap) mereka hidup di penjara terbuka," beber Foster.
Namun perubahan wacana publik di Barat mengenai penderitaan warga Palestina juga semakin berkembang, kata Herrera, seiring dengan realitas perang sehari-hari yang ditangkap secara online oleh warga Palestina sendiri.
Pada akhirnya, tidak akan ada pemenang sesungguhnya menurut Bresheeth.
"Tidak ada hal baik yang bisa dihasilkan dari situasi ini, dan orang-orang yang bertanggung jawab bukan hanya orang Israel, tapi juga pemberi dana dan pendukung mereka di negara-negara Barat, yang mendorong mereka melakukan genosida ini," pungkasnya.
Sumber: detik.com