Berikut pertanyaan lengkap pembaca yang diterima. Pembaca bisa mengajukan pertanyaan serupa.
Saya punya perkara yang sama dengan mantan istri saya di Komplek ***
Gara-gara mengajukan pembagian harta gono-gini. Satu rumah dijual, satu rumah dikuasai dengan tidak sah, katanya hibah. Padahal saya tidak pernah hibahkan rumah tersebut kepada mantan saya.
Rasanya tidak adil Pak. Mohon advis bagaimana saya menindak lanjuti perkara ini
Hormat kami
W
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.
Kami kurang mendapatkan gambaran yang jelas mengenai latar belakang perkawinan dan perceraian Saudara serta mengenai harta gono gini yang diajukan pembagiannya. Untuk itu, kami mengasumsikan bahwa diantara Saudara dan pihak istri saat ini sudah resmi bercerai. Sepanjang perkawinan tidak pernah membuat Perjanjian Perkawinan, kemudian setelah terjadi perceraian dilakukan pembicaraan tentang pembagian harta bersama (harta gono gini) berupa dua buah rumah.
Konsep mengenai harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat, yang kemudian didukung dan diatur oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia. Rumusan tentang harta bersama dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU 1/1974), yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kemudian, di dalam ketentuan Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Lalu juga, di dalam ketentuan Pasal 119 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa mulai dari saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
Mantan istri Saudara harus mampu membuktikan bahwa hibah atas rumah tersebut diperoleh dengan prosedur yang sesuai menurut hukum dan peraturan perundang-undangan.
Pengacara Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Terkait dengan pembagian harta bersama, bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 37 UU 1/1974, yang menyatakan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Kalimat "menurut hukumnya masing-masing" disini berarti mengacu kepada hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1448 K/Sip/1974 mempertegas ketentuan Pasal 37 tersebut dengan menyatakan bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan sebagai hukum positif, maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sehingga pada saat terjadinya perceraian, harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara mantan suami istri. Selanjutnya, di dalam ketentuan Pasal 97 KHI, dinyatakan bahwa janda atau duda yang bercerai, maka masing-masing berhak seperdua (½) dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
Berdasarkan pertanyaan Saudara, dua rumah yang menjadi harta bersama, satunya sudah dijual dan yang satunya lagi dikuasai sepihak oleh mantan istri atas dasar hibah dari Saudara. Jika dihubungkan dengan ketentuan hukum di atas, maka terkait dengan peralihan hak atas harta bersama berupa rumah melalui mekanisme jual beli, haruslah dilakukan dengan sepersetujuan Saudara dan mantan istri.
Hal ini sesuai sebagaimana ketentuan Pasal 36 Ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Selain itu, diatur juga di dalam ketentuan Pasal 92 KHI, yang menyatakan suami atau istri tanpa persetujuan pihak lainnya, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Oleh karenanya, apabila mantan istri menjual rumah harta bersama tanpa persetujuan Saudara, atau apabila sudah sepersetujuan Saudara namun hasil penjualannya tidak dibagi dengan Saudara, maka perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran yang mengandung konsekuensi baik secara perdata maupun pidana, hal mana Saudara dapat menuntut atau menggugatnya secara hukum.
Terkait dengan hibah pada saat perkawinan berlangsung, pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015, hibah antara suami istri diperbolehkan apabila sesuai dengan Perjanjian Perkawinan serta sepanjang dilakukan atas sepersetujuan suami istri dan tidak merugikan pihak ketiga. Sedangkan dalam Hukum Islam tidak ada larangan untuk melakukan hibah antara suami istri, dan harta yang dihibahkan menjadi milik pribadi orang yang diberi.
Pertanyaannya adalah apakah mantan istri Saudara mendapatkan hibah dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum. Pasal 1682 KUHPerdata menyatakan bahwa tidak ada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687 KUHPerdata (terhadap benda-benda bergerak yang bertubuh), yang dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minuta aslinya disimpan pada notaris. Menurut ketentuan Pasal 210 Ayat (1) KHI, hibah harus dilakukan dihadapan dua orang saksi. Dengan demikian, mantan istri Saudara harus mampu membuktikan bahwa hibah atas rumah tersebut diperoleh dengan prosedur yang sesuai menurut hukum dan peraturan perundang-undangan. Apabila tidak, maka hibah tersebut menjadi tidak sah dan Saudara memiliki hak untuk menuntut atau menggugatnya secara hukum.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.
Partner pada Law Office ELMA & Partners
www.lawofficeelma.com
Sumber: detik.com